Kehidupan sekolah tampaknya selalu menawarkan rindu. Peristiwa selama
bersekolah tak mudah terlupakan. Kita bisa mengenang dan kembali ke masa
sekolah melalui Republik Rakyat Lucu Eko Triono.
Buku terbitan 2018 itu menyajikan sepenggal kisah yang jamak terjadi di
sekolah. Cerita pendek dalam buku itu mengajak pembaca kembali menengok masa
sekolah. Buku ini juga mengajak kita menertawakan dan mengkritik sekolah.
Republik Rakyat Lucu begitu kental dengan humor. Racikan humor Eko
Triono agak berbeda; dia menyisipkan banyak kritik, antara lain, terhadap dunia
sekolah. Kritik secara samar, tetapi pedas. Tersembunyi, tetapi jelas. Kadang
nyleneh dan sok pintar, tetapi renyah.
Pada bagian awal, dia mengajak pembaca menilik fenomena rambut gondrong.
Itu sering kita dapati saat bersekolah. Siapa berambut gondrong, harus siap
menanggung akibat. Gunting guru akan segera menghabisi.
Tampaknya itu bukan fenomena biasa. Pada awal 1968, Gubernur Jakarta
Ali Sadikin menggelar razia untuk memberantas rambut gondrong di jalanan.
Rambut gondrong mengusung citra buruk. Ia dianggap simbol penyelewengan
kepribadian dan kebudayaan.
Namun citra yang melekat tak sepenuhnya benar. Rambut gondrong tak
berkait dengan penyelewengan kepribadian atau kebudayaan. Juga tak menentukan
kadar kepintaran seseorang. Kita bisa simak dalam cerita berikut.
“Ayah, apa benar rambut gondrong bikin kita bodoh?”
“Kata siapa?” jawab ayahnya santai setelah minum kopi penyegar pikiran
sempit, “rambut ibumu, nenekmu, juga Ibu Gurumu gondrong-gondrong, dan nyatanya
mereka pintar-pintar.”(halaman 11).
Melalui cerita itu kita diajak merenungi kembali norma yang selama ini dianggap
sahih. Melalui cerita yang jenaka, Eko menyisipkan kritik cerdas.
Soal Hukuman
Dia juga menyoroti keganjilan hukuman terhadap siswa yang terlambat.
Itu permasalahan yang jamak terjadi di sekolah. Bahkan mungkin kita pernah
merasakan.
Hukuman jadi tak sederhana jika hanya siswa yang harus merasakan. Sebab,
bukan hanya siswa yang terlambat. Guru pun acap terlambat. Namun hukuman tak
menyentuh mereka. Itu ganjil.
Eko mengajak pembaca membayangkan fenomena yang tak pernah kita
pikirkan; hukuman terhadap guru yang terlambat.
Pada hari Rabu, Guru Sekolah terlambat. Murid-muridnya tidak mau menerima
alasan apa pun. Yang terlambat mesti menerima hukuman, sebab demikian
peraturannya. Peraturan ada agar kedisiplinan dan keadilan tercipta, kata
murid-murid. Guru sekolah dihukum di tengah lapangan. Ia berdiri menghadap arah
timur, menghormat ke arah bendera pusaka. Matahari sedang terbit dengan
cemerlangnya(halaman 13).
Dia mengkritik peraturan yang hanya berlaku satu arah, kepada siswa.
Aturan memang harus ada dan dipatuhi, tetapi bukan hanya satu pihak yang harus
mematuhi. Semua pihak harus tunduk. Apalagi guru yang merupakan teladan. Ia
harus bisa digugu dan ditiru, memberi contoh yang baik pada siswa.
Siswa adalah aset bangsa. Kelak nasib bangsa ada di pundak mereka. Merekalah
yang akan jadi nakhoda dalam perjalanan sebuah negara. Mereka harus memiliki
bekal untuk menjalankan tugas itu. Salah satu bekal yang harus mereka peroleh adalah
ilmu pengetahuan.
Tugas negara membantu siswa mempersiapkan bekal itu melalui lembaga
pendidikan. Konstitusi mengamanatkan hal itu; pemangku kebijakan wajib
memberikan sarana dan
prasarana pendidikan.
Pemerataan pendidikan adalah keniscayaan. Setiap anak harus mengenyam
pendidikan. Namun tampaknya pemerintah belum mampu melaksanakan. Hanya
segelintir anak mampu merasakan nikmat bangku sekolah. Sekolah terasa
eksklusif. Hanya bagi yang unggul secara akademik dan finansial.
Eko mengkritik keadaan itu. “Kami hanya mengikuti model sekolah sebelah,”
ujar tukang bengkel, “bukan hanya saya, warung makan itu juga. Lihat, ‘Warung
makan ini hanya menerima pelanggan yang sudah makan, minum, dan kenyang. Atau
itu, ‘Laundri ini hanya mencuci baju yang sudah bersih, wangi, dan disetrika’(halaman
18).
Seharusnya warung tempat untuk orang lapar. Bukan untuk orang yang
sudah kenyang. Begitu pula sekolah. Seharusnya tempat itu hadir bagi orang yang
butuh belajar dan kering akan ilmu pengetahuan.
Namun kenyataannya tidak. Sekolah justru hadir untuk mereka yang kaya
ilmu pengetahuan. Yang fakir ilmu pengetahuan tak akan berkesempatan bersekolah
di sekolah negeri. Itu dibuktikan dengan adanya seleksi masuk ke sekolah
negeri. Yang tidak pintar terpental. Akibatnya, mereka harus belajar di sekolah
swasta. (Muharsyam Dwi Anantama)