HUT ESSAKA HARI PERTAMA KE-40

HUT KE-40 HARI PERTAMA ESSAKA




                                                                                                                           Jumat ,22 Februari 2019



              ESSAKA pada tanggal 23 Februari memeringati HUT  yang ke-40. Acara pada hari pertama dilaksanakan istigosah yang di ikuti oleh siswa dan siswi ESSAKA kelas 7,8,9,dan seluruh pegawai ESSAKA. 
             Semua warga sekolah mengikuti istigosah dengan sangat menghayati isi dari acara tersebut. Dengan persiapan dari anggota OSIS mempersiapkan acara tersebut dengan sangat antusias dengan menata tikar di halaman depan sekolah.


                                Sambutan kepala SMPN 1 Kaliori sebelum istigosah dimulai

          Setelah acara istigosah berjalan dengan lancar semua murid melaksanakan kegiatan kebersihan.
Per kelas dibagi atas 6 orang di dalam kelas,6 orang di luar kelas dan sisanya dari masing-masing kelas membersihkan halaman depan sekolah. 50 orang siswa yang diambil dari kelas 9 untuk membersihkan masjid Tambakagung.
                             Berikut ini foto dari kegiatan kerja bakti di masjid Tambakagung

HUT KE-40 SMP N 1 KALIORI

     Prestasi
                                        BIMA                             Senin Legi, 25 Februari 2019


Aron Raih Juara 1 Lomba Mapel


HUT ke-40 SMPN 1 Kaliori



Kaliori- Pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2019 SMPN 1 Kaliori melaksanakan kegiatan  lomba mapel  untuk tingkat SD se-Kecamatan Kaliori dan Batangan. Lomba tersebut dalam rangka memeriahkan HUT ke-40 SMPN 1 Kaliori.
Menurut ketua panitia, Bapak Wijanarto, S.Pd.,  selaku Pembina OSIS tersebut, lomba mapel diikuti 80 peserta. Acara tersebut berlangsung di SMPN 1 Kaliori mulai pukul 08.30 dan berakhir 10.30.



Serius: Perserta lomba mapel serius mengerjakan soal-soal.

          
Model Beda
  
 Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, model lomba tahun ini berbeda. Kalau tahun-tahun sebelumnya setiap peserta hanya mengikuti satu mapel namun tahun ini setiap peserta mengerjakan satu paket terdiri atas 3 mapel yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPS.Setelah diumumkan oleh panitia, pemenangnya  adalah: 1.  Ahmad Alfafairuz Zahron SDN Tambakagung, 2. Zahra Andini SDN 2 Sendangagung, 3. Riska Fatmawati SDN Maguan.  (Tim madding Essaka 19)                      




Foto bersama: Para juara lomba ma pel foto bersama kepala SMPN 1 Kaliori.




                   




Indang Menulis untuk Guru


Suatu pagi, seorang guru mengirim pesan tentang kesukaannya menulis. Ia bahkan menulis 1.000 puisi hingga menerbitkannya secara indie. Ia menyatakan keranjingan menulis. Ya, dia mungkin kerasukan indang menulis.

Guru itu bernama Trisnatun. Dia guru eksak sekaligus kepala SMP di Banyumas bagian barat. Ia mungkin satu dari sekian banyak guru yang mau dan mampu menulis. Kesibukan administrasi, kesibukan tugas lain guru, sering menjadi alasan pendidik tak sempat menulis. Benarkah? Tentu butuh penelitian mengenai perkara itu.

Untuk tak terlibat perdebatan soal kuantitas dan kualitas guru menulis, kiranya kemauan guru menulis patut kita apresiasi. Ia menjadi contoh nyata betapa tetap bisa menulis di tengah kesibukan. Ketekunan dan keberanian berkaryalah yang menjadi sanggahan kesibukan yang menyandera.

Apakah indang menulis bisa merasuk ke guru-guru lain? Tentu bisa. Sebagaimana kesenian ebeg, kuda lumping khas Banyumas, indang menulis bisa masuk secara sendirinya dan atau dimasukkan oleh sang dukun ebeg. Dengan kata lain, ada seseorang yang mempunyai bakat alam untuk menulis. Usai mendengar lagu, puisi, musik, ia pun akan ngibing: menari, menyanyi, dan menulis.

Selain bakat alam, ada pula orang yang baru bisa menulis ketika masuk dalam sistem atau komunitas. Orang inilah yang perlu mendapat perlakuan khusus, baik berupa pemberian stimulus, rangsangan terlebih dulu agar indang bisa merasuk. Mungkin begitu pun dengan guru. Perlu ada mekanisme atau metode tertentu untuk mendorong iklim menulis di kalangan guru bisa tumbuh.

Keberadaan komunitas atau gerakan guru menulis mungkin bisa jadi salah satu wadah untuk menumbuhkan iklim menulis. Di Banyumas, gaung itu kurang cukup terdengar. Guru menulis (puisi) sepertinya masih menjadi komunitas eksklusif di tengah riuh tuntutan menulis untuk melengkapi tuntutan standar profesionalisme guru. Itu seharusnya menjadi keprihatinan bersama.

Pentingnya Gerakan/Komunitas
Menjadi pertanyaan kembali, mengapa gaung komunitas guru menulis kurang terdengar? Jangan-jangan mereka kurang keras bersuara. Mungkin di tengah kesibukan, mereka jarang unjuk diri. Padahal, sudah banyak di antara mereka yang rutin menjadi juara literasi, rutin menjadi pembicara, dan peserta di ruang diskusi nasional hingga internasional.

Belum tercipta iklim literasi di daerah hendaknya menjadi tantangan yang harus dihadapi dan dipecahkan bersama. Penelitian pakar komunikasi yang menyatakan pesan tertulis hanya efektif paling tinggi tujuh persen, jauh di bawah pesan lisan yang 30 persen dan tindakan langsung di atas 40 persen patut kita camkan.

Indang guru menulis sebagai roh guru menulis hendaknya bisa kita tularkan melalui gerakan-gerakan nyata, termasuk komunitas guru menulis. Tanpa itu, sangat sulit gerakan guru menulis terus bertumbuh. Idealnya, guru tak semata-mata terjebak di ranah administrasi dan ekonomi semata-mata. Sebagai pencetak generasi penerus bangsa — calon pemimpin — guru bisa makin ideal dan profesional. Ranah
literasi harus diperkuat. Sudah banyak bangsa maju karena ada gerakan revolusi literasi dan kebudayaan oleh para pendidik.

Beruntunglah guru-guru yang telah merasakan indang menulis. Pasalnya, mereka bisa berkontribusi di ranah literasi seberapa pun kadarnya. Meski begitu, para guru penulis juga mendapat tantangan untuk tampil di depan kawan-kawan dan masyarakat. Pertanyaannya, apakah tulisan itu sudah bisa membawa perubahan sosial nyata?

Menyitir pernyataan Eka Budianta, inti menulis adalah membela bumi dan isinya. Karena itu, tulisan harus punya tujuan, bahkan mungkin provokatif. Tulisan perlu lebih dari sekadar objektif. Tulisan harus menggigit dan menyeret pembaca ke “jalan yang benar”. Mungkin itulah yang perlu dicamkan (komunitas) guru menulis, agar indang membaca juga muncul di kalangan guru. (Susanto)

Kritik terhadap Dunia Sekolah


Kehidupan sekolah tampaknya selalu menawarkan rindu. Peristiwa selama bersekolah tak mudah terlupakan. Kita bisa mengenang dan kembali ke masa sekolah melalui Republik Rakyat Lucu Eko Triono.

Buku terbitan 2018 itu menyajikan sepenggal kisah yang jamak terjadi di sekolah. Cerita pendek dalam buku itu mengajak pembaca kembali menengok masa sekolah. Buku ini juga mengajak kita menertawakan dan mengkritik sekolah.

Republik Rakyat Lucu begitu kental dengan humor. Racikan humor Eko Triono agak berbeda; dia menyisipkan banyak kritik, antara lain, terhadap dunia sekolah. Kritik secara samar, tetapi pedas. Tersembunyi, tetapi jelas. Kadang nyleneh dan sok pintar, tetapi renyah.

Pada bagian awal, dia mengajak pembaca menilik fenomena rambut gondrong. Itu sering kita dapati saat bersekolah. Siapa berambut gondrong, harus siap menanggung akibat. Gunting guru akan segera menghabisi.

Tampaknya itu bukan fenomena biasa. Pada awal 1968, Gubernur Jakarta Ali Sadikin menggelar razia untuk memberantas rambut gondrong di jalanan. Rambut gondrong mengusung citra buruk. Ia dianggap simbol penyelewengan kepribadian dan kebudayaan.

Namun citra yang melekat tak sepenuhnya benar. Rambut gondrong tak berkait dengan penyelewengan kepribadian atau kebudayaan. Juga tak menentukan kadar kepintaran seseorang. Kita bisa simak dalam cerita berikut.

“Ayah, apa benar rambut gondrong bikin kita bodoh?”

“Kata siapa?” jawab ayahnya santai setelah minum kopi penyegar pikiran sempit, “rambut ibumu, nenekmu, juga Ibu Gurumu gondrong-gondrong, dan nyatanya mereka pintar-pintar.”(halaman 11).

Melalui cerita itu kita diajak merenungi kembali norma yang selama ini dianggap sahih. Melalui cerita yang jenaka, Eko menyisipkan kritik cerdas.

Soal Hukuman
Dia juga menyoroti keganjilan hukuman terhadap siswa yang terlambat. Itu permasalahan yang jamak terjadi di sekolah. Bahkan mungkin kita pernah merasakan.

Hukuman jadi tak sederhana jika hanya siswa yang harus merasakan. Sebab, bukan hanya siswa yang terlambat. Guru pun acap terlambat. Namun hukuman tak menyentuh mereka. Itu ganjil.

Eko mengajak pembaca membayangkan fenomena yang tak pernah kita pikirkan; hukuman terhadap guru yang terlambat.

Pada hari Rabu, Guru Sekolah terlambat. Murid-muridnya tidak mau menerima alasan apa pun. Yang terlambat mesti menerima hukuman, sebab demikian peraturannya. Peraturan ada agar kedisiplinan dan keadilan tercipta, kata murid-murid. Guru sekolah dihukum di tengah lapangan. Ia berdiri menghadap arah timur, menghormat ke arah bendera pusaka. Matahari sedang terbit dengan cemerlangnya(halaman 13).

Dia mengkritik peraturan yang hanya berlaku satu arah, kepada siswa. Aturan memang harus ada dan dipatuhi, tetapi bukan hanya satu pihak yang harus mematuhi. Semua pihak harus tunduk. Apalagi guru yang merupakan teladan. Ia harus bisa digugu dan ditiru, memberi contoh yang baik pada siswa.

Siswa adalah aset bangsa. Kelak nasib bangsa ada di pundak mereka. Merekalah yang akan jadi nakhoda dalam perjalanan sebuah negara. Mereka harus memiliki bekal untuk menjalankan tugas itu. Salah satu bekal yang harus mereka peroleh adalah ilmu pengetahuan.

Tugas negara membantu siswa mempersiapkan bekal itu melalui lembaga pendidikan. Konstitusi mengamanatkan hal itu; pemangku kebijakan wajib memberikan sarana dan
prasarana pendidikan.

Pemerataan pendidikan adalah keniscayaan. Setiap anak harus mengenyam pendidikan. Namun tampaknya pemerintah belum mampu melaksanakan. Hanya segelintir anak mampu merasakan nikmat bangku sekolah. Sekolah terasa eksklusif. Hanya bagi yang unggul secara akademik dan finansial.

Eko mengkritik keadaan itu. “Kami hanya mengikuti model sekolah sebelah,” ujar tukang bengkel, “bukan hanya saya, warung makan itu juga. Lihat, ‘Warung makan ini hanya menerima pelanggan yang sudah makan, minum, dan kenyang. Atau itu, ‘Laundri ini hanya mencuci baju yang sudah bersih, wangi, dan disetrika’(halaman 18).

Seharusnya warung tempat untuk orang lapar. Bukan untuk orang yang sudah kenyang. Begitu pula sekolah. Seharusnya tempat itu hadir bagi orang yang butuh belajar dan kering akan ilmu pengetahuan.

Namun kenyataannya tidak. Sekolah justru hadir untuk mereka yang kaya ilmu pengetahuan. Yang fakir ilmu pengetahuan tak akan berkesempatan bersekolah di sekolah negeri. Itu dibuktikan dengan adanya seleksi masuk ke sekolah negeri. Yang tidak pintar terpental. Akibatnya, mereka harus belajar di sekolah swasta. (Muharsyam Dwi Anantama)