Indang Menulis untuk Guru


Suatu pagi, seorang guru mengirim pesan tentang kesukaannya menulis. Ia bahkan menulis 1.000 puisi hingga menerbitkannya secara indie. Ia menyatakan keranjingan menulis. Ya, dia mungkin kerasukan indang menulis.

Guru itu bernama Trisnatun. Dia guru eksak sekaligus kepala SMP di Banyumas bagian barat. Ia mungkin satu dari sekian banyak guru yang mau dan mampu menulis. Kesibukan administrasi, kesibukan tugas lain guru, sering menjadi alasan pendidik tak sempat menulis. Benarkah? Tentu butuh penelitian mengenai perkara itu.

Untuk tak terlibat perdebatan soal kuantitas dan kualitas guru menulis, kiranya kemauan guru menulis patut kita apresiasi. Ia menjadi contoh nyata betapa tetap bisa menulis di tengah kesibukan. Ketekunan dan keberanian berkaryalah yang menjadi sanggahan kesibukan yang menyandera.

Apakah indang menulis bisa merasuk ke guru-guru lain? Tentu bisa. Sebagaimana kesenian ebeg, kuda lumping khas Banyumas, indang menulis bisa masuk secara sendirinya dan atau dimasukkan oleh sang dukun ebeg. Dengan kata lain, ada seseorang yang mempunyai bakat alam untuk menulis. Usai mendengar lagu, puisi, musik, ia pun akan ngibing: menari, menyanyi, dan menulis.

Selain bakat alam, ada pula orang yang baru bisa menulis ketika masuk dalam sistem atau komunitas. Orang inilah yang perlu mendapat perlakuan khusus, baik berupa pemberian stimulus, rangsangan terlebih dulu agar indang bisa merasuk. Mungkin begitu pun dengan guru. Perlu ada mekanisme atau metode tertentu untuk mendorong iklim menulis di kalangan guru bisa tumbuh.

Keberadaan komunitas atau gerakan guru menulis mungkin bisa jadi salah satu wadah untuk menumbuhkan iklim menulis. Di Banyumas, gaung itu kurang cukup terdengar. Guru menulis (puisi) sepertinya masih menjadi komunitas eksklusif di tengah riuh tuntutan menulis untuk melengkapi tuntutan standar profesionalisme guru. Itu seharusnya menjadi keprihatinan bersama.

Pentingnya Gerakan/Komunitas
Menjadi pertanyaan kembali, mengapa gaung komunitas guru menulis kurang terdengar? Jangan-jangan mereka kurang keras bersuara. Mungkin di tengah kesibukan, mereka jarang unjuk diri. Padahal, sudah banyak di antara mereka yang rutin menjadi juara literasi, rutin menjadi pembicara, dan peserta di ruang diskusi nasional hingga internasional.

Belum tercipta iklim literasi di daerah hendaknya menjadi tantangan yang harus dihadapi dan dipecahkan bersama. Penelitian pakar komunikasi yang menyatakan pesan tertulis hanya efektif paling tinggi tujuh persen, jauh di bawah pesan lisan yang 30 persen dan tindakan langsung di atas 40 persen patut kita camkan.

Indang guru menulis sebagai roh guru menulis hendaknya bisa kita tularkan melalui gerakan-gerakan nyata, termasuk komunitas guru menulis. Tanpa itu, sangat sulit gerakan guru menulis terus bertumbuh. Idealnya, guru tak semata-mata terjebak di ranah administrasi dan ekonomi semata-mata. Sebagai pencetak generasi penerus bangsa — calon pemimpin — guru bisa makin ideal dan profesional. Ranah
literasi harus diperkuat. Sudah banyak bangsa maju karena ada gerakan revolusi literasi dan kebudayaan oleh para pendidik.

Beruntunglah guru-guru yang telah merasakan indang menulis. Pasalnya, mereka bisa berkontribusi di ranah literasi seberapa pun kadarnya. Meski begitu, para guru penulis juga mendapat tantangan untuk tampil di depan kawan-kawan dan masyarakat. Pertanyaannya, apakah tulisan itu sudah bisa membawa perubahan sosial nyata?

Menyitir pernyataan Eka Budianta, inti menulis adalah membela bumi dan isinya. Karena itu, tulisan harus punya tujuan, bahkan mungkin provokatif. Tulisan perlu lebih dari sekadar objektif. Tulisan harus menggigit dan menyeret pembaca ke “jalan yang benar”. Mungkin itulah yang perlu dicamkan (komunitas) guru menulis, agar indang membaca juga muncul di kalangan guru. (Susanto)