SEBUAH acara apik digelar “Rotary Semarang Kunti,” sebuah seminar
bertema “Pendidikan yang Menginspirasi.” Saya sebenarnya pengin hadir, tapi
sayang ada acara Iain di Iuar kota.
Sebagai pengurus yayasan pendidikan yang acap berinteraksi dengan guru
dan orang tua, saya melihat beberapa permasalahan pendidikan yang perlu segera
dibenahi, yaitu masalah prioritas pendidikan dan keterlibatan orang tua.
Jujur saja hingga kini prioritas pendidikan masih belum berubah, masih
bersikutat pada aspek kognitif dan akademis. Hampir semua institusi pendidikan
menganggap prestasi akademis, seperti rapor, ujian, ranking kelas, dan Iomba
olimpiade, adalah tolok ukur keberhasilan proses pendidikan paling sahih. Aspek
Iain, aspek psikomotorik, yang meliputi prestasi non-akademis, olahraga dan
kesenian, meski mulai diperhatikan, tapi masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan
orang.
Aspek ketiga, aspek afektif atau aspek perilaku karakter dan budi
pekerti, apalagi masih jauh panggang dari api. Beberapa pakar mulai
mendengungkan pentingnya aspek ini. Tapi kenyataannya seperti apa? Pendidikan
karakter masih dianggap sekadar wacana, masih dianggap aspek “remeh-temeh” dan
tidak menentukan. Padahal karakter yang baik adalah pondasi segala kebaikan
yang akan terjadi dalam kehidupan anak-anak nantinya.
Permasaiahan kedua keterlibatan orang tua. Nah ini adalah potongan “puzzle”
Iain yang juga menghilang. Orang tua tidak Iagi mau terlibat. Orang tua
beranggapan pendidikan adalah tanggung jawab sekolah. Orang tua merasa sudah
membayar uang sekolah, uang bangku, uang iuran, uang kegiatan, uang ini, uang
itu. Mereka merasa sudah “menunaikan” kewajiban. Mereka tidak mau Iagi “dirusuhi”
masalah pendidikan atau sekolah.
Anak yang sering terlambat, anak yang tidak disiplin, anak yang kurang
inisiatif “itu urusan sekolah.”
Anak sering berkelahi, anak sering membully, anak kurang ajar- “Maaf,
saya juga sibuk! Saya sudah bayar uang sekolah.”
Anak mabuk-mabukan, anak nonton pornografi, anak pacaran kelewat batas, “Tolong
sekolah yang bereskan. Saya juga sudah ‘mbo-hwat’ angkat tangan!”
Bapak dan ibu orang tua yang budiman dan super sibuk, mari kita duduk
dan bicara. Menurut pengamatan kami, permasalahan siswa di sekolah, acap
bersumber dari rumah. Anak sering terlambat, anak tidak disiplin, apa yang
telah diajarkan orang tua di rumah? Orang tua sering bangun kesiangan. Orang
tua dan mak engkong terlalu memanjakan, orang tua menganggap peraturan sekolah
bisa di ‘bypass!’
“Tidak apa-apa telat, yang penting masuk.”
Kalau ini yang diajarkan dan ditanamkan di rumah, bagaimana sekolah bisa
mendidik?
Anak disuruh membersihkan kelas, anak disuruh menyapu halaman dan
memunguti sampah, malah dimarahi dan dilarang orang tua. ”Jangan mau! Kamu
bukan cleaning service!”
Anak pun protes ke sekolah. ”Tidak mau! Kami bukan petugas cleaning!”
Ini salah siapa? Bagaimana sekolah bisa mendidik dengan baik dan benar,
bila nilai-nilai sernacam ini yang ditanamkan orang tua dalam diri anak?
Anak dididik agar disiplin, agar sopan, agar menjaga Iingkungan, agar
hidup hemat, agar menghargai perasaan orang Iain, tapi di rumah semua tatanan
nilai itu diabaikan, bahkan diobrak-abrik. Papa mama Iempar kulit jeruk
seenaknya dari jendela Mercy terbarunya, papa mama ribut sendiri kalau ada
orang sedang bicara di sebuah pertemuan, papa mama sering menghina orang atau kerabatnya
yang (maaf) tidak mampu, menuduh mereka pemalas, kaum ‘percum-tak-bergun’ papa
mama sering membeli barang mahal bermerk Ialu ditumpuk di Iemari tanpa pernah
sekalipun menggunakannya. Papa mama telah mencontohkan kehidupan hedonis
superego yang insensitif, intoleran dan nir empati. Dari mana anak-anak beiajar
membuang sampah sembarangan, menghambur-hamburkan uang dan menghina orang?
Bapak Ibu orang tua yang budiman dan baik hati, dunia bergerak dan
berubah, gizi anak-anak tercukupi semenjak dalam kandungan, perkembangan otak
dan intelegensia berkembang optimal dan memadai. Arus informasi tersedia dalam genggaman,
setiap waktu, setiap saat, di segala tempat. Dulu catatan guru adalah “kitab
suci” yang jadi pegangan, sumber ilmu pengetahuan, dan informasi yang tak boleh
diabaikan. Kini ‘Mbah Google’ dan sosial media, serta internet dan kemajuan
teknologi digital, telah mengubah bentang komunikasi dan alih pengetahuan
secara masif dan integral.
Cukup bermodal Iaptop dan headphone, anak-anak dapat belajar tanpa harus
keluar kamar. Anak-anak bisa diskusi tanpa harus bertatap muka. Anak-anak bisa
belajar segala hal, termasuk sesuatu yang belum dan bahkan tak akan pernah
diajarkan bapak ibu guru di sekolah, hanya dengan sentuhan jari telunjuk dan
rasa ingin tahu.
Taraf hidup meningkat, kemampuan intelektual semakin tinggi, dan akses
informasi tersedia. Apa yang dibutuhkan anak-anak untuk mempersiapkan diri
menghadapi tantangan yang semakin keras? Pendidikan Karakter.
Ya, Pendidikan Karakter. Tapi bagaimana mendidik dan membentuk karakter?
Dengan mengubah prioritas. Jika ada murid terlambat, guru yang melihat atau
mendengar, harus segera menyelesaikan masalah ini. Musuh terbesar pendidikan karakter
adalah pemaafan dan pemakluman.
Tidak hanya urusan terlambat, urusan buang sampah sembarangan, tidak mau
antre, tidak menyimak, bicara tidak sopan, dan pamer kekayaan orang tua. Jauh
Iebih penting, jauh Iebih bermanfaat untuk dibetulkan dan ditegur daripada
sekadar pelajaran PKN, agama atau matematika, daripada sekadar menghafal nama
kelurahan, membaca ayat-ayat, atau menghafal rumus.
Guru dan semua pemangku kepentingan harus ikut terlibat. harus mau
tanggung-renteng menegur saat sebuah pelanggaran terjadi. Jangan buang waktu,
jangan tunggu basi. Tegur dan betulkan! The ‘Ahok’ way. Tegas dan tega
menegakkan kebaikan. Ewuh pekewuh, andhap asor, toleransi dan usus dawa, baik
dan wajib dipraktikkan untuk hal yang positif. Tapi untuk pelanggaran etika yang
berpotensi merusak moral dan karakter anak-anak calon generasi penerus bangsa secara
kronis, jangan pakai sungkan, jangan pakai tedeng aling-aling, Iangsung sikat,
jewer dan hardik, “Tidak bolehl Jangan Iakukan! Berhenti atau saya tembak di
tempat!”
Huhhh!
Bapak Ibu orang tua yang bijaksana dan budiman, orang tua kini cenderung
‘overprotective dan overfacilitate.’ Mereka tidak rela anak-anaknya sengsara.
Mereka tidak rela anak-anaknya menderita. Mereka tidak tega anak-anaknya
mengaiami kesengsaraan seperti yang pernah mereka alami saat mereka kecil dulu.
Banyak orang tua yang kini kaya dan sukses, ‘balas dendam’ terhadap masa
Ialunya yang penuh derita, tanpa menyadari bahwa anak-anaknya - perlahan namun
pasti - telah menjadi korbannya. Anak-anak yang ‘chubby’ dan ‘spoiled’ boros
dan susah diatur, hidup nyaman dan santai, dalam wadah comfort zone nan empuk,
penuh AC dan gadget, serta wagyu steak dan antarjemput.
Kini tiap keluarga cuma punya satu atau dua anak. Kadang diperoleh
setelah 15 tahun menikah, dengan segala upaya dan ikhtiar, doa dan tahajud,
masa mau disia-siakan? Masa tega dibiarkan hidup sengsara? Benar, tapi mari
dengar ilustrasi ini. Seorang anak sakit, Ialu dibawa ke dokter dan diberi
obat. Saat kita berikan, obatnya ternyata pahit minta ampun. Si anak menolak.
Menangis. Saat kita paksakan, si anak muntah dan histeris bergulingan. Apa yang
akan kita Iakukan? Apa kita akan berkata, “Ya sudah, kalau ndak mau ndak apa-apa...
Ni makan permen saja yang manis dan enak. Oke?” atau kita akan berkata, ‘Obat
ini harus diminurn, sepahit apapun. Kalau kamu muntah, Papa akan masukkan Iagi.
Kamu muntah Iagi, Papa masukkan lagi…’
Tega adalah kunci membentuk karakter.
Yang terakhir. Bapak Ibu orang tua yang mulai deg-degan. Menurut saya,
pendidikan karakter harus dimulai semenjak usia dini, semenjak anak·anak duduk
di bangku PAUD, atau bahkan semenjak anak-anak dilahirkan. Dan untuk mewujudkan
hal tersebut, pendidikan orang tua, atau parenting, sangat penting dan
strategis untuk diwajibkan.
Saya membayangkan, sekaligus mengharapkan, pemerintah akan mengeluarkan
undang-undang yang mengharuskan orang tua untuk mengikuti pendidikan bagaimana
menjadi orang tua. Dan orang tua harus menunjukkan rapor dan ijazah ’parenting’
mereka, saat mendaftarkan anak·anaknya ke sekolah; sebagai prasyarat mutlak, di
samping KTP dan KK.
Sekolah tetap menjadi Iahan penyemaian bakat dan karakter yang baik,
karena di sanalah anak-anak berinteraksi, karena di sanalah karakter mereka
digerus dan dibenturkan dengan anak-anak dari berbagai kalangan dan Iatar
belakang. Dan tidak hanya tangan-tangan guru dan kepala sekolah, wali kelas dan
teman·teman sebaya yang saling menjaga dan merawat dengan penuh kasih dan
disiplin. Tapi juga tangan-tangan orang tua, yang mau mengerti dan terlibat, sabar
namun tegas, dalam mengawal sebuah proses panjang yang kadang melelahkan, untuk
mendidik anak·anak, buah hati kita tercinta. (Harjanto Halim)